Selasa, 29 Oktober 2019

Kisah Para Pejuang dari Kampung Manowa (Resensi)

Kisah Para Pejuang dari Kampung Manowa
Judul Buku            : Si Anak Badai
Penulis                   : Tere Liye
Penerbit                 : Republika Penerbit
Tahun Terbit          : Agustus 2019
Jumlah Halaman    : 322 halaman

Serial Anak-Anak Mamak yang telah terbit beberapa tahun silam berkisah tentang empat bersaudara: Si Anak Kuat, Si Anak Spesial, Si Anak Pintar, dan Si Anak Pemberani. Mereka lahir dari seorang Ibu luar biasa, Si Anak Cahaya. Para pembaca yang mengikuti serial ini tentu sudah begitu hafal akan kisah perjalanan mereka dalam meraih kesuksesan masing-masing dengan jalan yang berbeda. Ini adalah kisah perjuangan anak kampung pedalaman Sumatera menjadi orang-orang sukses. Penuh ketegangan, menguras emosi pembaca, dan juga penuh inspirasi. Nah, bagaimana dengan buku kali ini (Si Anak Badai)? Mungkin para penggemar kisah-kisah sebelumnya akan bertanya-tanya: apakah buku ini merupakan kelanjutan dari serial tersebut?
Tere Liye selalu mampu menghipnotis pembaca ketika mengeksplorasi karya-karyanya. Hal ini pula yang membuat saya pribadi selalu berusaha mengoleksi setiap buku terbaru yang dituliskan. Gaya penulisannya lugas dan sederhana, tetapi bisa menggaet pikiran dan perasaan pembaca. Di lihat dari segi struktur kalimat, Tere liye juga lebih sering menggunakan kalimat sederhana ketimbang kalimat majemuk, sehingga tulisannya yang bergaya simple menjadi cocok untuk dibaca oleh segala usia dan kalangan. Karyanya banyak berkisah tentang keseharian kehidupan masyarakat, namun tetap penuh makna di dalamnya.
Si Anak Badai adalah sebuah buku yang berkisah tentang perjalanan sebuah “geng” anak kampung yang berjuang merebut hak mereka untuk dapat tetap tinggal di kampung mereka sendiri. Kekuasaan pemerintah yang ingin merebut hak tinggal mereka tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Perjuangan dahsyat pun mereka alami karena harus berjuang melawan “sang penguasa”. Benar-benar penuh intrik, buku ini menyuguhkan kehidupan masyarakat kampung yang tinggal dalam balutan atmosfir pinggiran sungai, muara, serta deru ombak laut. Awal cerita mengupas kehidupan Ze, seorang siswa SD yang bertumbuh dan merajut asa di sebuah perkampungan bernama Manowa. 
Selanjutnya, nilai-nilai kehidupan yang ditampilkan di dalam cerita tidak diragukan lagi kuantitas dan kualitasnya. Pembaca dapat menemukan nilai moral dan pelajaran yang dapat dipetik hikmahnya tersebar di seluruh bagian buku. Salah satu yang menarik bagi saya adalah tentang bagaimana pengorbanan dan kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya. Di ruang tengah, aku tersenyum dengan mata  berkaca-kaca, tak tertahankan. Aku menangis. Aku baru tahu betapa sayangnya Mamak kepada kami (hal. 134).
Sebagaimana dalam karya-karya Tere Liye selama ini, aspek yang tak kalah kentara adalah persahabatan yang tumbuh erat, kali ini di antara empat sekawan. Hal ini khususnya terlihat ketika Malim memutuskan berhenti sekolah. Persahabatan mereka diuji, tetapi kesetiakawanan membuat Malim semangat untuk bersekolah lagi. “Mengapa kalian  masih kemari?” Malim terisak. Kini dia mengelap ingus di hidungnya dengan telapak tangan. “Kami kawan kau, Lim”. Kami tidak akan menyerah semudah yang kau kira.” (hal. 202). 
Ada pun sisi lain dari bahasan buku ini adalah kritikan yang seolah ditujukan kepada pemerintah sekarang. Kekuasaan menjadikan mereka lupa dengan rakyat mereka yang di bawah. Geng Si Anak Badai dengan segenap kemampuannya berusaha menggagalkan rencana pemerintah untuk membuat pelabuhan di kampung mereka agar mereka tidak terusir. Kegigihan dan semangat mereka akhirnya membuahkan hasil. Sang Kapten dibebaskan dari tuduhan dan kampung mereka kembali aman dari rencana penggusuran pemerintah. 
Namun demikian, dari sudah pandang saya, ada hal yang sedikit mengganjal dalam cerita. Geng ini terlihat mampu menemukan bukti kecurangan yang dilakukan oleh pihak pemerintah dengan cara yang rasanya cenderung gampang. Mungkin akan lebih baik jika penulis memasukkan alur cerita yang lebih menarik atau menantang dalam misi pencarian bukti kecurangan yang dilakukan pemerintah ini. Akan tetapi, secara keseluruhan, penikmat buku benar-benar harus membaca buku yang satu ini. Sebagaimana disebutkan di atas, di dalam karya ini terkandung begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa dijadikan hikmah bagi pembaca. Intinya, Novel ini sungguh sarat akan makna. Akhir kata, selamat membaca buku “Si Anak Badai”. 



Resensi ini ditulis oleh adik laki-laki saya Ibrahim Mhd. Jamal.
Semoga bermanfaat

Minggu, 27 Oktober 2019

(Lucunya) Negeriku Ini

(Lucunya) Negeriku Ini
Bekas Pukulan

Di Ibukota
Semakin banyak orang gila.
Kejadian sekitar pukul 19:00 di wilayah Bundaran HI.
Aku yang sedang asyik bercerita berdua dengan saudariku.
Berceloteh riang tentang aktivitas kami hari ini.
Berjalan di trotoar.
Ada beberapa yang berlalu lalang.
Selebihnya duduk menikmati seduhan kopi sambil bercengkrama.
Hanya sekitar 20 langkah dari halte TransJakarta Bundaran HI.
Tiba-tiba ada yang memukul kepalaku dari belakang.
Rasanya dipukul dengan sekuat tenaga.
Linglung juga dibuatnya.
Setelahnya, ada seorang ibu yang datang menghadang jalan kami.
Aku bertanya baik-baik, "Ada apa gerangan memukul kepalaku?"
Dia menjawab, "Tuh, ada teman lu kesana jalannya pakai baju abu-abu menabrak gue barusan!"
Saya masih mencoba tenang, "Mana Bu? Temanku ini, gak ada lagi" (sambil menunjuk saudari disampingku).
Dia langsung emosi, "Itu kesana dia (sambil melayangkan pukulan lagi kepadaku)."
Saudariku memegang tanganku agar tak membalas.
Tapi, ibu itu dengan semakin beringas mau memukul lagi, dan kami berdua mencoba menghindar, meski tetap terkena pukulannya.
Dan akhirnya dia berkata lagi, "Lu kan yang maling hp gue di Bogor waktu itu!".
Ampun dah, apalagi ini, kami berdua saling berpandangan tidak mengerti.
Lalu ibu tersebut semakin beringas, dia ingin memukul saudariku dengan papan jalan yang dipegangnya karena saudariku selalu menengahi setiap aku mau dipukulnya.
Dan papan jalan itu dilayangkan ke tangan saudariku, aku mencoba menangkis tetapi tetap saja tangan saudariku terkena pukulan dan lebam.
Aku langsung menarik tangan saudariku, kami berlari balik arah dan menuju agak ke tengah jalan raya hanya karena ingin menghindari pertengkaran tak jelas ini.
Sedangkan si ibu ingin mengejar tetapi sudah kepalang karena dilihat banyak orang.
Saat kami berjalan, ada beberapa orang yang bertanya, "Tadi itu kenapa Mba?".
"Kami juga tak tahu Mas", hanya itu jawaban yang keluar dari mulut kami.
"Hati-hati, bokap gue dulu juga pernah begitu, orang itu mau memancing emosi kita lalu nanti mengambil uang atau hp kita".
Alhamdulillah, aku dan saudariku tidak kenapa-kenapa.
Alhamdulillah, kami masih diselamatkan oleh-Nya.
SYOK? Sudah jelas tentunya.
KAGET? Sangat!
Sempat terduduk di trotoar mengecek barang-barang, menenangkan diri, beristighfar sepenuh hati, berpegangan tangan untuk saling menguatkan.
Lalu kami melanjutkan perjalanan kembali.
Mungkin kami terlupa berdoa, atau terlupa banyak beristighfar hari ini Ya Rabb.
Astaghfirullahal'azim
Untuk teman-teman, semoga ini menjadi pelajaran bahwasanya kita tidak tahu dimana dan kapan bahaya mengintai kita.
Mari tetap waspada!

Trotoar Bundaran HI, 27 Oktober 2019

#BundaranHI #peristiwa #oranggila #syok #waspada #hatihati #pukulan #memar
#yujaza #pencintalangit #jalanan #ibukota #anakrantau #gadihrantau #istighfar